Senin, 03 September 2012
I B U
Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan
kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya didepan pintu. Gegas saya rengkuh punggung
tangannya, menciumnya lama. Ternyata
rindu padanya tidak bertepuk sebelah
tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan
sayang di ubun-ubun ini, lama.
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu
ucapannya kemudian. Begitu masuk ke
dalam rumah, saya mendapati ruangan yang
sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya
sudah mendidih". Gegas saya angkat
pancinya dan dahipun berkerut, panci
kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin
hanya untuk membuat beberapa gelas teh
saja" pikir saya
"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan,
Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih
ukuran sedang telah terisi air, juga
setengahnya. Saya memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Saya
pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu.
Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka
sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung,
peras dulu, abis itu jemur di pagar yah"
pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam"
sekilas saya memandang Ibu yang tengah
bersusah payah memasak. Tumben Ibu
begitu banyak meminta bantuan, biasanya
beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu
ketika saya masuk rumah sepulang dari
ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya
mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa
itu.?" tanya saya. "Oh itu yang
bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan
saya semakin termangu, dari dulu Ibu
paling tidak suka mengeluarkan uang
untuk mengupah orang lain dalam
pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah
terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan
terjawab ketika saya menemaninya tilawah
selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar
memegang penunjuk yang terbuat dari
kertas koran yang dipilin kecil,
menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan
mata ini memandang lekat pada jemarinya.
Keriput, urat-uratnya menonjol jelas,
bukan itu yang membuat saya tertegun.
Tangan itu terus bergetar. Saya
berpaling, menyembunyikan bening kristal
yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.
Mungkinkah segala bantuan yang ia minta
sejak saya pulang, karena tangannya tak
lagi paripurna melakukan banyak hal?
"Dingin" bisik saya, sambil beringsut
membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu
masih terus tilawah, sedang tangan
kirinya membelai kepala saya. Saya
memeluknya, merengkuh banyak kehangatan
yang dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap
menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi
udara mushala kecil rumah. Seperti biasa
surat cinta yang dibacanya selalu itu,
Ad-Dhuha dan At-Thariq.
Usai shalat, saya menunggunya membaca
wirid, dan seperti tadi saya pandangi
lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh
Allah, sayangi Mamah" spontan saya
memohon. "Neng." suara ibu membuyarkan
lamunan itu, kini tangannya terangsur di
depan saya, kebiasaan saat selesai
shalat, saya rengkuh tangan berkah itu
dan menciumnya.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan.
Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss
sekali.
"Penyakit orang tua"
"Sekarang tangan ibu hanya mampu
melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga" tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di
langit kian gemerlap berlatarkan langit
biru tak berpenyangga. Saya memandangnya
dari teras depan rumah. Ada bulan yang
sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya
membayangkan senyuman manis Ibu sehabis
shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan
mengapakah, saya seperti melayang. Telah
banyak hal yang dipersembahkan tangannya
untuk saya. Tangan yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya
menghadapi kenakalan saya. Tangan yang
selalu berangsur ke kepala dan
membetulkan letak jilbab ketika saya
tergesa pergi sekolah. Tangan yang
selalu dan selalu mengelus lembut ketika
saya mencari kekuatan di pangkuannya
saat hati saya bergemuruh. Tangan yang
menengadah ketika memohon kepada Allah
untuk setiap ujian yang saya jalani.
Tangan yang pernah membuat bunga dari
pita-pita berwarna dan menyimpannya di
meja belajar saya ketika saya masih
kecil yang katanya biar saya lebih
semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah
dan harus tinggal jauh darinya, suratnya
selalu saja datang. Tulisan tangannya
kadang membuat saya mengerutkan dahi,
pasalnya beberapa huruf terlihat sama,
huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu
paling suka menulis surat dengan tulisan
sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu
menyisipkan puisi yang diciptakannya
sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya
sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan
Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah
buku. Jika saya renungkan, memang
demikian. Tangan seorang ibunda adalah
perwujudan banyak hal : Kasih sayang,
kesabaran, cinta, ketulusan.. Pernahkah
ia pamrih setelah tangannya menyajikan
masakan di meja makan untuk sarapan?
Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah
jemari ketika mendoakan anaknya agar
diberi Allah banyak kemudahan dalam
menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih
uang atas jerih payah tangannya
membereskan tempat tidur kita? Pernahkah
ia mengungkap balasan atas semua
persembahan tangannya?.. Pernahkah. .?
Ketika akan meninggalkannya untuk
kembali, saya masih merajuknya "Bu,
ikutlah ke rumah, biar dekat dengan
anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di
banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan
baik di sini. Kamu yang seharusnya
sering datang, Ibu akan lebih senang"
Jawabannya ringan. Tak ada air mata
seperti saat-saat dulu melepas saya
pergi. Ibu tampak lebih pasrah,
menyerahkan semua kepada kehendak Allah.
Sebelum pergi, saya merengkuh kembali
punggung tangannya, selagi sempat , saya
reguk seluruh keikhlasan yang pernah
dipersembahkannya untuk saya. Selagi
sisa waktu yang saya punya masih ada,
tangannya saya ciumi sepenuh takzim.
Saya takut, sungguh takut, tak dapati
lagi kesempatan meraih tangannya,
meletakannya di kening.
***
Bagaimana dengan engkau sahabatku?
Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau
ada, duduk di depan komputer dan membaca
tulisan saya ini. Engkau sangat tahu,
lewat tangannya kau bisa menjadi
seseorang yang menjadi kebanggaan.
Engkau sangat tahu, dibanding siapapun
juga. Maka, usah kau tunggu hingga
tangannya gemetar, untuk mengajaknya
bahagia. Inilah saatnya, inilah masanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar